SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 13 Juli 2011

Materi Ajar Fiqih XII/1 "Sumber Hukum Islam"


Meteri Ajar                                          :
Sumber Hukum Islam
·         Pengertian al-Qur’an: al-Qur’an menurut bahasa berarti ”bacaan”   قرأ – يقرأ – قرآن
       Sedangkan menurut istilah adalah :
كَلاَمُ اللهِ الْمُنَزَّلُ على محمدٍ صلم اَلْمَتْلُوُّ الْمُتَوَاُِ                                                                    
        “Firman Allah yang diturunkan dan dibacakn kepada Nabi Muhammad saw secara mutawatir.”
Yang dimaksud mutawatir adalah berita yang disampaikan kepad sejumlah orang dan diriwayatkan  (diterima) oleh sejumlah orang yangtidak mungkin bisa berkonspirasi untuk melakukan kebohongan.
Ada pula yang mendefinisikan sebagian ulama bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril dan dinilai sebagi ibadah bagi yang membacanya.
·         Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama: al-Qur’an adalah pedoamn atau petunjuk bagi manusia, karenanya setiap hukum harus didasarkan pada al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
إنَّ أنزلنا إليك الكتاب بالحقّ لِتحكموا بين النّاسِ بما أراك اللهُ ۚ ولاتكن لِّلْخائبين خَصيماً  {الساء ۱۰۵}          
“ Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dang janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” An-Nisa 105
Dengan demikian segala ketetapan huku harus didasarkan pada al-Qur’an. Sebab al-Qur’an adalah way of life (pedoman hidup) bagi manusia, terutama orang-orang yang beriman agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman :
           إنّ هذا القرآنَ أن يهدى لِلَّتي وُبَشِّرُ المؤمنين الذين يعملون الصّالحاتِ أنّ لهم أجرًا كبيرا {الإشراء ۹}        
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberikan khabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mngerjakan amal sholeh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” Al-Isro’ 9                     
Sebagai sumber hukum Islam al-Qur’an memuat :
    1. Hukum yang berkaitan dengan akidah, yakni ketetapan tentang wajib beriman.
    2. Tuntutan yang berkaitang dengan akhlaq (budi pekerti)                                            .
    3. Hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia, hukum ini terbagi menjadi :
1.       hukum yang berkaitang dengan amal ibadah (‘ubudiyah)
2.       hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (mu’amalah)
3.       hukum yang berkaitan dengan masalah yang berhubungan keluarga (munakahat, mawaris)
4.       hukum yang berkaitan dengan gugat-menggugat (peradilan)
5.       hukum yang berkaitan dengan pidana (jinayat)
6.       hukum yang berkaitan dengan batasan kepemilikan (milkun)
7.       hukum yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama.
·         Pengertian hadits mnurut bahasa bearti yang baru, yang dekat atau warta, yaitu sesuatu yang dibacakan. Sedangka menurut istilah , hadits adalah :      
قوله صلم وأفعاله وأحواله     
“Segala ucapan Nabi saw, tindak tanduk, dan kondisi kehidupan beliau.”
Hadits sering juga disebut sebagai sunnah. Sementara isrtilah sunnah sendiri menurut para ulama ahli hadits memiliki pengertian :
                 ماأُضِيفَ الى النبيّ صلم قولا او فعلا او تقريرا                                 
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan) beliau.”
Hadits adlah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Kedudukannya sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an karena kedudukannya sebagai penafsir dan pedoman pelaksana yang otentik terhadapal-Qur’an. Karenanya umat Islam wajib berpedoman kepada hadits-hadits Nabi saw, firman Allah SWT :
وما اتكم الرّسول فخذوه نهكم عنه فانتهوا    الحشر ۷}                                                           
“Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hsyr 7)
Fungsi hadits terhadap al-Qur’an :
1.             Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an. Misalnya berdusta.
2.             Memberikan penjelasan atau rincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global. Misalnya masalah sholat.
3.             Menetapkan ketentuan hukum yang belum disebutkan di dalam al-Qur’an. Misalnya cara mensucikan bejana atau tubuh yang dijilat oleh anjing.
Macam-macam kualitas hadits :
1.       Mutawatir yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dari sejumlah orangyang jumlahnya cukupbanyak yang tidak memungkinkan melakukan kebohongan bersama.
2.       Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan yang yang jumlahnya tidak mencapai jumlah mutawatir.  Hadits ahad terbagi kepada :
a.       Shahih yaitu hadits yang memiliki mata rantai sanad yang bersambung, tidak bertentangan dengan riwayat hadits kebanyakan, tidak mengandung cacat, serta diriwayatkan oleh seseorang perawi yang adil dan akurat periwayatannya.
b.       Hasan yaitu hasan tidak jauh berbeda dengan hadits shohih. Yang membedakan hanya pada kualitas perwinya., perawi hadits hasan tidak sepopuler hadits hasan.
c.        Dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi beberapa kriteria hadits shahih maupun hasan.
  • Pengertian dan Penerapan ijtihad
Yang dimaksud methode ijtihad adalah sebuah cara atau upaya untuk menggali dasar hukum Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an maupun Hadits dengan menggunakan ra’yu. Menurut Muhammad Syaltut bahwa penerapan hukum berdasarkan pada ra’yu ini disebut ijtihad. Masalah-masalah yang boleh di ijtihadkan oleh masalah-masalah di dalam al-Qur’an dan Hadits belum diketemukan hukumnya secara jelas dan rinci.
Kata ijtihad berasal dari kata  إجتهد- يجتهد – إجتهادا   yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat.
Para ulama fiqh mendefinisikan ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Imam Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at.
Ijtihad mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Tanpa ijtihad, banyak maslah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya, seperti tentang niat shalat. Para ulama sepakat bahwa shalat tidak sah tanpa niat. Madzhab Maliki dan Syafe’i menetapkan bahwa niat sebagai salah satu rukun shalat. Sedangkan Madzhab Hanafi dan Hambali menetapkan bahwa niat merupakan salah satu syarat shalat.
  • Hukum Ijtihad
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari bahwa hukum ijtihad dapat dikelompokkan menjadi:
1.       Wajin ‘ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2.       Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila mujtahid lain telah menyelesaikan dan menetapkan hukum tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3.       Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
  • Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, seseorang harus memenuhi syarat-syarat ijtihad, syarat-syarat ijtihad terbagi menjadi tiga yaitu syarat umum, syarat khusus, dan syarat pelengkap.
1.       Syarat umum : Baligh, berakal sehat, memahami maslah, dan beriman.
2.       Syarat khusus:
a.             Mengetahui ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis
b.             Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
c.              Mengetahui maksud dan rahasia hukum Islam.
d.             Mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah, yaitu kaidah-kaidah yang diistinbathkan dari dalil-dalil syar’i.
e.              Mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab.
f.              Mengetahui ilmu ushul fiqh, meliputi dalil-dalil syar’i.
g.              Mengetahu ilmu manthiq.
h.             Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyyah.
i.               Mengetahui soal-soal ijma’
3.       Syarat-syarat pelengkap:
a.             Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
b.             Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
c.              Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
·         Tingkatan-tingkatan mujtahid:
1.       Mujtahid muthlak mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratn ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa menjadi pendiri madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafe’i, dan Hambali, nama lain mujtahid ini adalah mujtahid fard (perorangan).
2.       Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti ajaran yang ditempuh oleh madzhab itu. Sekalipun pedapatnya tidak sama dengan pendapat imam madzhabnya.
3.       Mujtahid fil madzahib, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnyamengikuti kaidah yang digunakan oleh imam madzhabnya, dan ia juga mengikuti imam madzhabnya dalam masalah furu’, terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan oleh imam madzhabnya, terjadang ia melakukan ijtihadnya sendiri.
4.       mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari penetapan pendapat-penadapat imam-imam madzhabnya.
 
  • Pengertian Ijma’: Ijma’ berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan ijma; ialah :
إتّفاقُ مجتهدِي أمّةِ محمد صلم بعد وفاته في عصرٍ من الاَعصارِ على أمرِ من الاُمورِ                  
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu”

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang yang semasa dengan Nabi  tidaklah disebut sebagai ijma’. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang disetujui atau sepakat sebagai ijma’. Namun pendapat jumhur, ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama) yang ada pada masa itu. Kesepakatan ulama dapat terjadi dengan tiga cara:
    1. Dengan qauli, yaitu kesepakatn berdasarkan penadapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
    2. Dengan fi’li, yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.
    3. Dengan sukuti (diam), yaitu apabila tida ada diantara mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.
·         Macam-macam Ijma’
1.       Ijma’ sharih, yaitu apabila semua mujtahid menyatakan persetujuannya atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun trulisan.
2.       Ima’ sukuti, yaitu apabila sebagian mujtahid yang memutuskan hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan, melainkan mereka hanya diam.
Jumhur ulma berpendapat bahwa ijma’ yang dapat dijadikan landasan hukum adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak.
Dalam tatanan ilmu yang lebih luas ,ijma’ di bagi dalam beberapa macam:
1.       ijma’ ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu.
2.       ijma’ dhabay, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
3.       ijma’ madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama madinah dalam suatu masalah.
4.       ijma’ ahli kuffah, yaitu kesepakatan ulama-ulama kuffah dalam suatu masalah.
5.       ijma’ kholifah, yaitu kesepakat empat kholifah.
6.       ijma’ syaikhoni, yaitu kesepakatn pendapat antara Abu Bakar dan Umar dalam suatu masalah.
7.       ijma’ ahli bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (keluarga nabi).
·         Keduukan ijma’ sebagai sumber hukum
Ijma’ ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar’iy, yaitu setelah al-Qur’an dan Sunnah. Dari pemahaman seperti ini, pada dsarnya ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
  • Sebab-sebab dilakukan ijma’
1.       Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara dalam al-Qur’an dan hadits tidak diketemukan.
2.       Karena nash baik berupa al-Qur’an dan hadits sudah tidak turun lagi atau sudah berhenti.
3.       Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka mudah dikoordinir untuk mwelakukan kesepakatan dalam menetapkan status hukum terhadap masalah atau persoalan yang timbul pada saat itu.
4.       Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan, dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.


·         Qiyas
Pengertian qiyas: qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan atau mempersamakan sesuatu dengan yang lainnya dikarenakan ada persamaan. Sedangkan menurut istilah, qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nas dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nas. Berbeda dengan ijma’, qiyas dilakukan oleh individu, sedangkan ijma’ harus dilakukan bersama oleh para mujtahid.
Adapun macamnya qiyas ada empat:
    1. Qiyas aulawi, yakni mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah ada namun sifat/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contoh, keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah haram.
    2. Qiyas musawi, yakni illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya kasus kesamaan keharaman hukum mambakar harta-harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama menghilangkan.
    3. Qiyas dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilala al-hukum (penunjukan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa. Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh berkembang.
    4. Qiyas syibh, yakni terjadinya keraguan dalam mengqiyaskan, ke asal mana illat ditujukan, kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu Nabi Adam a.s atau barang yang bisa diperjualbelikan.
·         Kedudukan qiyas dalam sumber hukum Islam
Menurut para ulama kenamaan, bahwa qiyas itu merupakan hujjah syar’iyyah terhadap hukum akal. Qiyas ini menduduki tingkat ke empat hujjah syar’iy, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nas, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam nas. Mereka mendasarkan hukumnya dalam nas, antara lain :
فاعتبروا يأولى الابصارِ                                                                                 
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” Al-Hasyr 2.
  • Sebab-sebab dilakukan qiyas
    1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nas tidak diketemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’.
    2. Karena nas, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
    3. Karena adanya persamaan illat antara  peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash.

Tidak ada komentar: